Bukittinggi,, saya tak pernah menyangka menjadi bagian dari kota bukittinggi, yang pasti saya bersyukur berada dikota ini,, karena semua pengalaman yang tak terlupakan itu juga berawal dari kota ini, Bukittinggi…
Hari ini matahari kembali bersinar seperti biasanya, saya melihat kearah utara dari kost saya,,yups,, disana puncak merpati,, puncak diatas gunung merapi…
semua otot-otot kaki saya terasa kaku, yaa,, 6 juni 2013, salah satu pengalaman yang tak kan terlupakan itu dimulai…
sehabis ujian akhir semester, teman-teman saya seperti biasanya merencanakan untuk mendaki merapi, tahun lalu mereka juga mendaki merapi hanya saja saya belum berkesempatan untuk ikut.
Sehari sebelumnya kami telah mempersiapkan apa saja yang akan dibawa, karena saya pemula, jadi saya setuju-setuju saja dengan saran-saran dari teman-teman.
Kami berencana berangkat dari bukittinggi jam 9 pagi, tapi karena sesuatu dan lain hal, hehe,, keberangkatan menjadi jam 11.30, padahal teman saya ozzy yang berangkat dari Padang datang tepat waktu jam 9. Kami berkumpul didepan kampus (ini salah satu tempat yang strategis karena udah biasa kekampus mungkin ya, hehe) lalu menaiki angkot yang sengaja disewa untuk bisa mengantarkan ke Koto Baru, tempat untuk memulai pendakian.
Setelah sampai diKoto Baru, kami melapor kepada petugas menuliskan nama siapa-siapa saja yang akan mendaki, meninggalkan no Hp, dan segala macam administrasi nya, dan lagi-lagi teman saya yang menghandle, hehe…
|
administrasi dulu yaa.. |
Perjalanan
dimulai, kami mendaki 17 orang, saddam (yang udah puluhan kali mendaki, dan dia
secara tidak langsung bisa dikatakan sebagai guide kami semua, heehe) bro
bayaik (walaupun belum sampai puluhan kali mendaki, tapi percaya de, dia seksi
dari segala seksi yang sangat jitu,hahah,,#apa ini) ozzy (jauh-jauh dari Padang
dan ontime) alfi, aldo, (kasuk), danny, faiz, afri, puja, yang cewek-cewek ada maya, fadilah
(saya biasa manggil iya), Tata, vivi (biasa saya panggil Pipay), devi (biasa
saya panggil pipi), yori (biasa saya panggil Oror), wara (biasa dipanggil mbak
wara), dan riri (saya sendiri,, ehhehe) maaf, maaf, sok-sok an formal
perkenalan saya.
|
kebun dikiri dan kanan |
Perjalanan
mendaki merapi dimulai, ini perjalanan saya yang pertama, melewati kebun-kebun
sayur yang ada ditepi jalan, beberapa kali juga berpapasan dengan bapak-bapak
yang sibuk dikebunnya, hijau, asri, segar,, tapi matahari terik diatas kami,
dengan sesekali kami tertawa bersama membuat perjalanan ini lebih baik. dari
kejauhan saya melihat ada sebuah rumah kayu, pipi bertanya “dam, itu posko
satu?” sadam menjawab “iyo, disitu wak baranti partamo pi” saya yang
mendengarkan jadi lebih semangat untuk berjalan lebih cepat, hahah…
Sesampai di
posko 1, kami istirahat dulu, masuk ke posko, bertemu juga dengan beberapa
pendaki yang udah turun, mengisi energi dengan minum dan memakan roti
persediaan kami. Setelah jam menunjukkan 13.00 wib kami lanjut mendaki,
beberapa menit setelah berjalan, kami berhenti untuk sholat dulu, karena disana
ada air untuk berwudhu’. Mengisi botol-botol minum yang kosong. Meneguk air
dikaki gunung merapi, dingiiiiiinnn,, seperti air dari kulkas.
|
sholat dulu, ngantrii yaa |
|
yg udah sholat istirahat dulu, airnyaa dingin |
Perjalanan dilanjutkan,
saya berjalan dekat dengan pipi, lalu kami membaca plang yang kami temui dengan
tulisan “4 km” lalu kami menggemakan kebahagiaan yang sedikit lebay
“waa,,, pii,,
alah 4 km” komentar saya,,
”iyooo ri,,
semangat” balas pipi.
beberapa teman
yang berada didekat kami tertawa. Lalu bro bayaik berkomentar “haha,,semangat
bro, masih ado sisonyo tu bro” wkwkw,,
Kami sampai
dipos 2, segera saya mengambil posisi duduk yang nyaman, sambil membiarkan
kaki-kaki saya istirahat sebentar, rasanya kaki-kaki saya mulai protes, haus
juga terasa, saya meminta minum kepada teman-teman, lalu faiz yang waktu itu
memegang minum menawarkan minum, lalu kami juga bertemu dengan seorang cowok yang
juga sedang beristirahat diposko, tak lama kemudian 3 orang temannya juga
mengambil posisi duduk, mereka baru saja turun. Salah seorang dari mereka
cidera, kakinya terkilir dicadas, tapi ia tetap berusaha menuruni gunung walau
tertatih dan sebuah tongkat menopang tubuhnya,, hmm, cadas,, seperti apa ya?
Saya bergumam dalam hati dan sibuk menerka-nerka,, mereka juga memberitahu kami
untuk menghemat persediaan air karena diatas air ngak ada.
kami segera mempersiapkan
makan, saya beranjak dari tempat duduk saya, oror dan teman-teman mengeluarkan
nasi goreng yang telah dipersiapkan tadi pagi,, waa,, saya ngak ikut
mempersiapkan karena buru-buru kekost saya karena belum packing, hehhe… karena
persediaan air terbatas maka tidak boleh ada yang cuci tangan pake air, hmm,,
awalnya saya merasa agak aneh, hehe,,
Kami melanjutkan
perjalanan, setelah berhenti dan makan siang, kaki-kaki yang tadi protes mulai merasa
lebih baik, hehe,, saya mencoba untuk berjalan bagian depan, tapi lama-lama
lutut saya mulai terasa kaku, saya mencoba memperlambat langkah, dari bagian
depan perlahan-lahan saya berada dibagian belakang,, karena terkadang saya
harus berhenti untuk duduk dan meluruskan kaki saya,,
Perjalanan
harus tetap dilanjutkan, karena masing-masing kecepatan kami dalam melanjutkan
perjalanan beda-beda, maka secara tidak sengaja dari 16 orang kami menjadi
beberapa kelompok dalam perjalanan, walaupun kadang tak terlihat teman-teman
yang udah jalan didepan atau dibelakang tapi masih dengan jarak yang tidak
terlalu jauh.
Saya, mbak
wara, ozzy, puja, dan pipi berada disatu barisan untuk menuju puncak, hehe…
sesekali saya dan pipi membahas banyak hal untuk mencoba membuat perjalanan
menjadi terasa singkat, ini untuk kedua kalinya kami mencoba melupakan jarak,
yups, sebelumnya beberapa minggu yang lalu, kami nekat mengikuti maraton
internasional sejauh 10 km (azeeeh, gaya banget kedengarannya) heheh,,tapi
belum nyampe garis start saya udah cidera duluan, waa,,, malu-maluin banget,, maraton
udah beganti aja dengan jalan santai, haha,,,
“Sebenarnya
bukan tingginya gunung yang harus kita taklukan, tapi…” saya sengaja untuk
tidak menyelesaikan kata-kata saya,
“yang harus
ditaklukan adalah diri kita sendiri” lanjut pipi,,
lalu kami
tertawa bersama,, beberapa kali dengan gaya ala dora the explorer kami
mengulang-ulang kata-kata itu karena terlalu sering diulang kami tertawa,
tertawa dengan makna masing-masing,,
“apa yang harus
kita taklukaaaaaannnn???”
semua menjawab
“diri kita sendiriiiii…”
“apaaaa???”
“diri kita
sendiri”
“apaaa??Kurang
kerass”
“diri kita
sendiri”
“apaaa?? Sekali
lagi”
“diri kita
sendiri”
“hahaha…”
Disela nafas
yang terengah-engah kami masih sempat untuk tertawa,,saya mencoba menyugesti
diri saya, perjalanan ini indah jika bisa dinikmati, bukanlah puncak
satu-satunya tujuan, tapi proses dalam menuju puncak, itu akan menjadi bagian
yang takkan terlupakan dari proses perjalanan ini, saya yakin itu, dan ini akan
menjadi jejak-jejak langkah yang tak akan saya lupakan jika saya sampai
dipuncak nanti.
Setelah
beberapa menit perjalanan saya merasa mendapatkan teknik yang baru untuk
mengatasi kaki saya yang protes, bahkan terkadang begitu berat untuk
dilangkahkan. Ketika mendaki saat lutut mulai terasa ngilu dan tak bisa dilangkahkan
lagi, maka katakan “pause”, hehee,,, berhenti ditempat seperti mematung tanpa
mengubah posisi, berarti bukan seperti awal lagi yang ketika berhenti harus
duduk dan meluruskan kaki, lalu katakan “play” untuk kembali lanjut, hahaha,…
ini juga untuk kami berlima yang berjalan berdekatan agar bisa menunggu yang
lain saat kakinya protes tak tertahankan. Pause dan play beberapa kali kami
lontarkan, dan ternyata ini lumayan ampuh untuk menambah kecepatan kami
mendaki, hahaha,,
Dibeberapa
perjalan terkadang saya akui, pendakian yang tak mudah untuk lutut yang terasa
begitu cepat ingin sampai diatas, tapi sesekali di beberapa tempat yang kami
lalui kami bisa melihat pemandangan jauh kebawah, “subhanallah sungguh indah” dan
itu mengobati semuanya, dan membuat semangat kembali membara,,
Diperjalanan,
kami menemui beberapa batu-batu, jadi ingat kata-kata teman-teman diperjalanan
tadi “kalau lah ado batu-batu dijalan itu dakek ka cadas mah, beko tibo
diterowongan dan pintu angin, lah tibo mah”.
Bagi kami
berlima yang semuanya merupakan pendaki pemula, menemui batu-batu berarti
sebuah harapan, hehehe… bahkan kami menebak, apakah ini pintu angin? Hahaha…
Puncak
terlihat, cadas juga terlihat,, kami sangat senang,,
Beberapa menit
berjalan, teman-teman yang tadi berjalan duluan udah menunggu, waa,, senang
rasanya bisa kembali bersama-sama, hehe… sejenak beristirahat, sambil bercerita
dan tertawa, dan setelah diabsen semua udah lengkap, perjalanan dilanjutkan,
dan tak lama kemudian, kami sampai diatas, “subhanallah, pemandangan sudah
mulai terlihat, indaaahhh,,” kami kembali beristirahat, disalah satu pohon ada
plang yang saya baca “pintu angin” oowwh, ternyata ini yang pintu angin, bukan yang
kami kira tadi, saya mencoba menerka-nerka pintu angin itu gimana ya? Hehe,,
ngak tau juga gimana bisa disebut pintu angin, tapi memang dari sini, hembusan
angin mulai terasa menerpa wajah, bahkan dingin juga mulai terasa, tempat kami
berhenti, salah satu tempat yang bisa untuk mendirikan tenda, tapi kami kembali
untuk beristirahat, saya melepaskan tas yang dari tadi setia berada dipunggung
saya, meluruskan kaki, dan mengistirahatkan badan sejenak, menatap langit, awan
bukan berarak lagi, tapi seperti berlari dengan sangat cepat. Teman-teman sibuk
membahas topic yang selalu sukses membuat kami semua tertawa.
|
pintu angin |
Setelah
berdiskusi kami memutuskan untuk mendirikan tenda dibagian yang mendekati
cadas, maka setelah beberapa menit berjalan keatas, kami sampai ditempat.
disekelilingnya yang masih berdekatan terlihat beberapa tenda yang sudah lebih
dulu didirikan, kami sampai ditempat, kami sempat menyapa seorang laki-laki
paruh baya yang sibuk dengan kamera nya,, kami mendirikan tenda tepat diatas
tenda bapak tersebut.
Mentari mulai
condong segera tenggelam, awan-awan yang tadi terlihat putih berubah menjadi
merah, seperti terbakar api,,sesekali mentari terlihat, sesekali tertutup awan
yang jadi merah, seperti berkejar-kejaran awan yang silih berganti melewati mentari,
saya menatap jauh, disana laut, saya teringat beberapa minggu yang lalu, saya
sempat menikmati pemandangan indah mentari yang perlahan mulai tenggelam ditepi
pantai Padang, mengayuh sepeda disepanjang jalan bersama Tia, Iin, Rozi, dan
Rizki, tak terasa sekarang begitu jauh jaraknya, masih mentari yang sama,
diwaktu yang berbeda saya mengagumi keindahan itu sekarang dari atas gunung, perlahan-lahan
jingga disudut langit, satu-persatu titik-titik cahaya dari bawah mulai
menyala, itu beberapa kota yang terlihat dari atas puncak merapi. “subhanallah..indaah”
azan menggema sampai kepuncak gunung merapi, sungguh senja yang sempurna… kami
bersiap-siap melaksanakan sholat magrib, karena tidak memungkinkan untuk
berjamaah, kami sholat sendiri-sendiri, saya meminta izin untuk menggelar
sajadah didepan tenda bapak yang tadi sibuk dengan kameranya, berdiri mengagumi
kebesaranNya,sesekali mukenah tertiup angin yang mulai bertiup lebih kencang,
perlahan-lahan mulai gelap, hingga salam, kedamaian menyusup perlahan, berbisik
doa padaNya.
|
senja dimerapi |
|
senja ditepi pantai padang |
|
memori senja ditepi pantai padang (rizki yg fotoin) |
|
siluet senja riri |
Titik-titik cahaya
yang berwarna-warni sangat kontras dengan gelap langit yang hanya dihiasi
sedikit bintang. Saya masih belum beranjak dari sajadah, saya sholat berdekatan
dengan pipi. Menikmati lampu-lampu dari kota Bukittinggi, Padang Panjang,
Padang, hmm,, kota mana lagi yang terlihat, saya tidak terlalu tau.
“dari mana
buk?” bapak tadi bertanya kepada saya dan pipi, tapi masih sibuk dengan
kameranya dan sesekali melemparkan pandangan jauh kedepan kehamparan
lampu-lampu.
“dari
Bukittinggi pak”.
“rame ya, yang
mendaki, berapa orang buk?”
“17 orang pak,
iya, kami dari kampus pak”
“kuliah dimana
buk,?”
“di Psikologi
UNP pak, kampusnya diBelakang Balok, Bukittinggi. Bapak darimana pak?”
Ini salah satu
tradisi mendaki gunung yang baru saya tau, setiap orang yang kita temui kita
sapa dengan panggilan pak atau buk, walaupun dia terlihat muda.
“saya dari
Limau manih.” Saya kaget dengan jawaban Bapak tersebut, saya lahir dan
dibesarkan diLimau manih, kenapa saya tidak pernah sekalipun melihat bapak.
“limau manih,
padang, pak? Saya juga Dari limau manih pak, tapi kok saya ngak pernah lihat
bapak? hehe”. Pernyataan yang sangat jujur karena saya mencoba memutar otak
saya mencari-cari dimemori saya bagian potret wajah bapak tersebut.
“hahaha,,,saya
dari Limau manih buk, tepatnya di dekat gunuang nago, ayah saya orang sana,
tapi saya sudah lama diBatam, hanya sesekali berkunjung ke sini lagi”. Hmm,,
ternyata bapak ini memang tidak tinggal di Limau manih.
“hehhe,, begitu
ya pak, di dekat gunuang nago itu sudah beda kelurahan dengan Limau manih pak,
sebenarnya saya tinggal dikelurahan koto Lua pak, juga bersebelahan dengan
kelurahan Limau manih, tapi karena orang biasanya lebih banyak tau dengan Limau
Manih ya, saya juga bilang limau manih pak,,karena limau manih ada universitas
Andalas mungkin pak,hahah”
“hahaha, iyaa
buk, saya kegunung marapi menemani teman saya buk, dia sebenarnya ingin ke
mahameru tapi ongkosnya mahal buk kalau dari batam” bapak tersebut menunjuk
temannya yang sibuk entah mengerjakan apa.
“hheheh,, iya
pak, oia pak, makasih pak udah numpang sholat depan tenda bapak, kami keatas
dulu ya pak”
“ya, sama-sama
buk”.
Saya dan pipi
kembali ke tenda, waaa,, dingin bangeeeett, saya memakai jaket, sarung tangan,
kaos kaki (2 lapis),, dingggin banget, banget, banget,,
Kami makan
bersama didalam tenda, menghemat minum air putih, karena sumber air kering, saling
berbagi seteguk air, semua terasa berbeda, banyak hal yang bisa saya syukuri,
kebersamaan dengan teman-teman, dan juga, betapa banyak kemudahan didalam hidup
saya selama ini, salah satunya boleh minum sepuasnya.
Dingin semakin
menjadi-jadi, tapi waktu sholat isya sudah masuk, saya dan teman-teman
melaksanakan sholat isya, tapi ternyata sesekali terasa rintik-rintik hujan
jatuh dari langit. Saya lirik jam tangan saya masih menunjukkan pukul 20.00
wib, tapi bayaik dan teman-teman cowok lainnya udah sibuk membereskan tenda
sebaik mungkin, lalu menyuruh kami cewek-cewek untuk segera bersiap-siap tidur
ditenda,,sedangkan mereka yang cowok-cowok ditenda disebelahnya, kami
mendirikan 2 tenda,,bahkan dari teman-teman yang cowok ada yang meminjami kami
cewek-cewek sleeping bag mereka,,
Pagi nya jam
06.00 wib kami melaksanakan sholat shubuh,,dingiiin,,,
Meneguk minuman
hangat,,sarapan dengan mie instan, waa,, rasa syukur itu kembali membuktikan
bahwa semua terasa berarti.
Perjalanan
dilanjutkan kepuncak merapi,, kami mendaki lagi, yups, kali ini tak ada
pepohonan lagi, sejauh mata memandang, hanya terlihat seperti bukit berbatu.
|
dicadas |
|
pemandangan dari cadas |
Sesampai
diatas, rasanya saya berada ditempat yang sangat asing sekali bagi saya,
hamparan pemandangan dimerapi, kawah merapi, bau belerang mulai menusuk hidung,
kami terus berjalan, angin bertiup dgn sangat kencang,,kami melanjutkan
perjalanan, entah kenapa saya juga merasa seperti dipadang pasir. Keindahan itu
kembali membuat saya begitu terpesona, sekarang saya berada mendekati puncak,
yaitu puncak merpati, pemandang dibawah begitu menakjubkan, bahkan danau
singkarak terlihat begitu cantik,,
|
kawah mati |
|
danau singkarak |
|
kawah dimerapi |
|
yg cewek2 foto dulu.. |
Angin bertiup benar-benar sangat kencang,
lebih dari berdiri didepan kipas angin dengan kekuatan maksimal. Kami terus
berjalan, kira-kira 20 menit lagi sampai dipuncak merpati, saya, mbak wara,
pipay, aldo, puja, pipi kami berjalan menuju puncak merpati, harus hati-hati.
Sesampai diatas, kami bisa melihat taman edelweiss,indaaahhh, teman-teman yang
tadi udah duluan sampai puncak melanjutkan perjalanan ketaman, saya sebenarnya
juga ingi ketaman, tapi taman hanya terlihat dekat, padahal masih lumayan jauh,
teman-teman yang udah separuh jalan menuju taman terlihat seperti semut-semut
yang berjejer rapi,, waa,, saya mungkin belum sanggup untuk ketaman.
|
sebelum kepuncak merpati |
|
puncak merpati |
|
dipuncak merpati latar taman edelweis |
|
taman edelweis dilihat dari puncak merpati |
|
edelweis |
Sambil menunggu
teman-teman ke taman, saya, mbak wara, pipay, pipi, dan aldo berjalan turun
dari puncak merpati, kira-kira 20 menit berjalan kami berhenti,,
Dari banyak
mimpi yang saya punya, salah satu mimpi saya yaitu sholat dhuha dipuncak
merapi, lalu, setelah bertayamum, saya, pipi, dan mbak wara melaksanakan sholat
dhuha, angin bertiup sangat kencaaang. Sebuah kalimat yang sempat saya baca
waktu disalah satu buku ketika saya berada disari anggrek,maaf saya lupa itu
karangan siapa.
“apabila kita ingin
lebih dekat mengenal kebesaran Allah, kunjungilah tempat-tempat istimewa yang
bisa membuat kita tidak berhenti bertasbih, bertahmid kepada-Nya.”
Saya pikir
mendaki merapi salah satu tempat itu. Subhanallah,, sungguh sangat, sangat
indah.
Lalu Aldo
mengajak kami untuk tetap bisa melihat edelweis dari dekat ditempat yang
terjangkau,, hehehe…
Tetap saja
indah, saya dan mbak wara juga sempat tadarusan,,ini semua sungguh luar biasaa…
Lama kami menunggu,
kami memutuskan untuk turun, matahari sudah semakin meninggi,, kami menunggu
teman-teman dicadas, bahkan sambil bernyanyi, sesekali tertawa dan kembali
bernyanyi. Lagu favorit saya…
“ranah minang…
Ranah nan den
cintooo…
Pusako bundo
nan dahulunyo,,
Rumah gadang,,
Nan sambilan
ruang,,
Rangkiang
baririk sakuliliangnyo,,
Bilo den kana,
hati den taibo, taibo,,
Tabayang-bayang
diruang mato..”
Sebenarnya saya
ngak terlalu hafal lagunya, tapi saya suka,, hehe..
Mimpi saya
selanjutnya “menyanyikan lagu ini dirantau,,”
“bermimpilah,
maka tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu” arai di sang pemimpi karangan andrea
hirata,,saya suka kata-kata ini,, apalagi setelah menonton jejak-jejak danang,
dengan menuliskan 100 mimpi, dan berusaha membuat mimpi-mimpi itu jadi nyata..
Tiba-tiba
rintik-rintik butiran air jatuh dari langit,, waa,, gerimis, tapi teman-teman
yang ditunggu belum juga terlihat,, akhirnya kami memutuskan untuk menuruni
cadas, saya, pipi, dan mbak wara berjalan berdekatan, pipay dan aldo,,menuruni
cadas yang jika tidak hati-hati sangat berakibat fatal, semua nya bebatuan, sebenarnya
sedikit membuat hormone adrenalin saya meningkat, tapi kami coba relaks dgn
bernyanyi,, nyanyi apapun yg penting relaks,,
Sesampai dibawah,
kami melihat teman-teman yang lain turun dari cadas,,waa,,senang rasanya,,lalu
kami berkumpul ditenda, membereskan disekitar tenda,, sempat berfoto bersama,
lalu melanjutkan untuk turun.
|
foto dulu sebelum pulang, ini pipay yg fotoin |
Ternyata setelah
mendaki, menurun juga bukan hal yang mudah, lutut terasa sedikit nyeri, jalan
yang menurun mengharuskan untuk menopang tubuh, kekuatan kaki sangat
diandalkan, tapi sedikit tips untuk turun, amati medan dan berlari-lari kecil
itu lebih ampuh mengurangi nyeri dilutut.
Sesampainya dibawah,
kami sempat mengisi persediaan air,saat diatas saya sempat ngobrol sama danny, “jika
sampai dibawah apa yang sangat diharapkan?” jawabannya “minum sepuasnya”. Kami minum
sepuasnya, air terasa sangat segar sekali.
Lalu melanjutkan
perjalan, kemudian menaiki angkot yang telah menunggu, dan kami sampai
dikampus,,kembali ke kost masing-masing.
Perjalanan yang
sangat berkesan, semoga akan banyak lagi mimpi-mimpi itu yang terwujud,,aamiin…
J
terimakasih untuk foto-foto dari
teman-teman,, mbak wara izin share fotonya juga yaa,,
Bukittinggi,
6-7 Juni 2013
dari
pameran merapi-singgalang ke puncak merpati (dimerapi)