Sabtu, 16 Mei 2015

Cerpen : Sahabat Langit

Sahabat Langit
sebuah cerpen dari Sri Asrianty

pagi ini bumi menunggui didepan pintu ruang hati langit berharap bisa kembali duduk dan bercerita disana sebenarnya aku tau, kedatangan bumi bukan hanya sekedar itu tapi dia ingin memastikan langit akan baik baik saja karena awan hitam berarak dan petir badai akan melanda

langit tak mau membuka pintu

“sudahlah, jangan menunggu disitu, mungkin langit ruang hatinya penuh sesak dan tidak sedang memerlukan mu”

bumi menoleh, suara siapa itu?
owh, samudera
samudera yang jika nanti langit berurai air mata, maka semua pilunya akan bermuara di samudera.

“baiklah, aku akan kembali pulang” jawab bumi.

lalu langit berteriak kepada bumi
“untuk apa lagi kamu peduli padaku, untuk apa? untuk mengingatkan bahwa akan ada badai dan hujan? nyatanya badai akan datang, hujan akan segera turun, hujan air mataku, lalu untuk apa lagi kamu mempertanyakan semua? sudahlah berhenti bertanya tentang hal konyol itu padaku”

bumi tersenyum dan menitipkan pesan pada angin
“untuk langit sahabat baikku tidak apa-apa, tidak usah jujur padaku untuk kali ini, aku hanya bisa mendoakan langit akan baik-baik saja, dan semoga ketika badai reda dan esok pagi akan ada janji mentari, juga indah pelangi, katakan aku menunggu di ujung pagi, dengan tawa yang dulu selalu kita temui. esok ketika hati mu sudah tak sesak lagi, aku akan kembali bercerita kesana, atau seperti biasa saat purnama, langit yang mengunjungi sepi bumi”
menerima pesan itu langit kembali tersadar, bumi selalu menjadi bumi tempatnya pulang.

-Padang, 28 April 2015


Keputusan Allah

dalam perjalanan hidup, sebagai manusia biasa, kita pernah mengalami kesedihan, kadang banyak hal yang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, tapi percayalah,Allah selalu Maha Tahu, ada bagian-bagian dari kehidupan ini, bagian itu mutlak keputusan Allah untuk kita. seperti berpulangnya orang yang sangat kita cintai. sedih, teramat sedih, tapi ingatlah lagi, ada keputusan-keputusan Allah, bagian itu adalah rencana terbaik Allah.

"dan Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. dan Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS 63 : 11)

" setiap yang bernyawa akan merasakan mati. dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan kedalam surga , sungguh dia memperoleh kemenangan. kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya." (QS 3 : 185)

ingat, itu adalah keputusan mutlak Allah.
jangan larut dengan kesedihan, tapi ayo belajar untuk kembalikan semua kepada Allah.
sebagai manusia biasa, kita kadang hanya bisa melihat suatu kejadian dari apa yang tampak, padahal hakikatnya belum tentu begitu
dengan keterbatasan yang kita punya, semoga selalu membuat kita selalu berdoa pada Allah yang maha mengetahui.
begitupun ada banyak bagian-bagian lainnya dikehidupan ini yang jika tetap egois melihat dari sudut pandang kita saja, maka akan terasa sempitlah hati dan pikiran kita.
kembalikan kepada Allah.
berusaha dan berdoa, bagian-bagian yang masih bisa kita usahakan. tapi sebaik-baik rencana yg telah kita susun utk diri kita sendiri. Allah punya rencana yang jauh lebih baik utk kita.
jadi ingat saat pertama kost, kakak saya jauh lebih sibuk mengurus saya dibandingkan diri saya sendiri. saya tahu, kakak saya ingin yang terbaik untuk saya.
nah, apalagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, walau seringkali kita sebagai hamba Allah masih sering lupa banyak hal yang telah Allah perintahkan, tapi tetap saja Allah memberikan kita karunianya, nikmat sehat sebagai salah satu contohnya.

ingat, sehelai daunpun tak akan gugur tanpa izin dari Allah. apalagi dengan beberapa keputusan-keputusan yang (kita rasa) penting dihidup kita. Allah maha mengetahui. maha mengatur. tak akan terlewatkan, tak akan tertukar.
"Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada didarat dan dilaut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (QS Al-An’am : 59)

ingat yi, pikirkan, kerjakan, usahakan, dan berdoa pada bagian-bagian yi
ingat yi, sebaik-baik rencana kita untuk diri kita sendiri, Allah punya rencana terbaik utk kita.
ingat yi, ada bagian-bagian kehidupan yang Allah atur. percayalah. keputusan dari Allah sebaik-baik keputusan
hanya saja kita yang terlalu kerdil memahami hakikat kebaikan yang Allah berikan.


-catatan yang akan selalu mengingatkan mu Yi
di tulis untuk diri sendiri ketika dilanda kesedihan terdalam.

Cerpen : Isyarat Awan

Isyarat Awan
Sebuah cerpen dari Sri Asrianty

Aku berjalan menelusuri setiap sudut ruangan ini, susunan buku yang tertata rapi, membuatku tak pernah bisa menghapus rasa rindu itu, semua seperti sebuah film yang diputar ulang yang diputarkan langsung dari memoriku, aku bisa melihat detail nya.

Jalanan masih seperti biasa, penuh sesak dengan banyaknya kendaraan yang sibuk lalu lalang, aku menatap lewat kaca dari sudut kafe ini, alunan musik “here to stay” Sagisu Shiro mengalun pelan, matahari mulai bergeser, senja siap untuk menggantikannya, tapi banyak hal yang tak pernah tergantikan tentangmu. Detik ini aku menelusuri lagi jejak-jejak kerinduan yang mulai terkubur waktu, itu harapanku, mencoba melupakan dan membunuh kerinduan itu dengan melewati perputaran waktu dengan banyak hal, tapi entah kenapa aku selalu kembali lagi ke kafe ini, ada puzzle kehidupanku yang harus kulengkapi dengan berada di tempat ini.

Di sudut kafe ini delapan tahun yang lalu, kita selalu punya agenda untuk mempersiapkan bekal menuju ujian kelulusan masa putih abu-abu. Di kafe ini kita menuliskan janji untuk saling menyemangati, membahas materi-materi yang harus kita kuasai. Kamu dengan santainya duduk di mejaku tanpa rasa bersalah karena kamu telah membuatku menunggu, kamu terlambat 30 menit, aku menunggumu seorang diri. Untuk mengisi waktu menunggu, aku membaca sebuah novel, beberapa buku yang tersusun rapi di antara cangkir kopiku. cerita-cerita sederhana itu seperti sebuah ritual rutin kita,
“pura-pura ngambek, padahal kamu menikmati banget kan nunggu aku sambil baca novel?” katamu.

Kamu selalu begitu, selalu tak pernah merasa bersalah ketika kamu membuatku menunggu. kamu yang selalu menertawakan aku dengan buku-buku fiksi yang menemani kesendirianku, juga terkadang ungkapan-ungkapan logikamu yang selalu membuat kita berdebat.
“udah de, baca yang puitis-puitisnya, kenapa harus bermajas-majas jika bisa berkata-kata dengan jelas” lanjutmu.

Kenapa kamu tak pernah mampu untuk melihat dari sudut pandang bahwa tak selamanya logika itu mampu melawan hati hingga huruf-huruf yang berhamburan disulap ajaib membuat kata-kata yang memukau.

Aku tak pernah lupa dengan pandangan sinismu tentangku,
“kamu terlalu mendramatisir hidup” ujarmu padaku.
“bukan, aku hanya menuliskan dengan luapan emosi” bantahku.
“kamu terlalu muluk-muluk dalam memahami banyak hal, simple aja.” Lanjutmu

Lebih baik aku membalas dengan tersenyum, kamu seakan tiba-tiba menjelma menjadi sosok aneh yang tak kukenali. Kamu sahabat yang kukenal dengan baik tapi sesekali aku sungguh membencimu, Tepatnya membenci pandangan-pandangan dinginmu tentangku, tapi ada seuntai rasa yang tak mampu kujelaskan, bahkan ketika aku bertanya pada logikaku, kenapa hati dan logikaku tak bisa sejalan? Jauh beda denganmu yang tak sedikitpun terbebani rasa yang membuatku sulit untuk bernafas, ingin meledak, tapi tersekat diantara tenggorokanku yang masih saja tak mampu melanjutkan ke lidah untuk menyampaikan, “apa yang terjadi dengan hatiku?”. Sudahlah, semua mungkin hanya luapan emosi ku saja yang belum mampu untuk ku pahami.
***
Keajaiban seperti apa lagi ini? Di tengah sibuknya memulai tahun ajaran baru di sekolah, pembagian kelas baru, seragam putih abu-abu dengan warna cemerlang. Saat aku sibuk mempersiapkan proses belajar mengajar dikelas yang baru, merapikan kursi dan meja, tiba-tiba seseorang duduk disampingku dan tersenyum, aku menoleh dan terdiam. Kamu tiba-tiba duduk disebelahku dan berkata..
“okeee, sekarang kita sekelas, siap berjuang untuk ke universitas impian” jawabmu.

Lagi-lagi aku hanya tersenyum padamu. Terimakasih untuk setiap semangat yang tak bosan kamu bagi denganku. Kita melewati hari-hari sederhana dengan semangat mimpi-mimpi itu.

Perputaran waktu terlalu cepat, aku masih ingat ketika detik-detik terakhir perpisahan kita, Semua tiba-tiba harus berakhir begitu saja, ada banyak hal yang tak mampu untuk kujelaskan, setelah kamu memutuskan untuk berlalu dan hilang tanpa jejak, seperti aliran air yang terhenti diterpa cahaya matahari, menguap tak tersisa. Apa yang salah denganku? Hingga kamu tak mengucapkan sepatah katapun diperpisahan itu?

Aku selalu tak mengerti denganmu, perlahan kawanan burung telah berarak pulang, aku langkahkan kaki, berlalu dari kafe ini. Awan hitam mulai menggiring rintik-rintik hujan disenja ini.
***
Denting jam tepat pukul 7 pagi membuatku harus bergegas lagi menyegerakan rutinitas hari ini. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah undangan yang berada disamping vas bunga mawar dimeja kerjaku.

“reunian SMA” ku baca lirih. Lalu memasukkannya ke dalam tas bersama file-file yang akan ku presentasikan hari ini.
***
Embun pagi tersapu gelombang hujan. setelah isyarat awan, hujan turun dengan derasnya, aku mampu membaca isyarat itu. Aku lebih memilih untuk tetap diam, tak menggubris isyarat awan. Semua cerita ini akan berjalan seperti apa adanya. Aku tak ingin lagi menyibukkan diri untuk memikirkanmu. Walaupun hatiku selalu bertanya “Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Bagaimana jika kita bertemu lagi, adakah penjelasan darimu?”

Hujan turun lebih deras lagi. Sudahlah, aku ikhlas dengan semua cerita ini, tak ada rasa yang menggebu-gebu untuk pertemuan itu. Bahkan pernah terpikir olehku, “bagaimana caranya agar aku bisa sejenak hilang dari peredaran?”.

Aku akan mengikhlaskan setiap kepingan kenangan untuk beberapa waktu bersamamu. Bukankah aku hanya sekilas berada disana? Seakan cerita ini harus aku jalani. Ketika seorang laki-laki yang mengenakan jaket bolanya, mengetuk pintu rumahku, Gerhana.
“ayo senja kita datang reunian” Pintanya.

Aku tak bisa mengelak lagi, aku harus datang. Hujan yang tadi turun deras, berhenti perlahan-lahan, matahari mulai menyibak awan-awan hitam, awan-awan hitam itu pun mengalah, mungkin mereka memilih pulang saja, entahlah.

Bukankah sesudah hujan akan ada pelangi? Ya pelangi. Aku menatap langit, tapi tak ku temukan pelangi, padahal leher ku mulai pegal menengadah kelangit. Disana hanya ada awan-awan yang berbeda warna dari awan-awan sebelumnya. Ya awan putih. Pertemuan itu semakin dekat.

Aku tak mengerti, apakah aku merindukan dan berdoa untuk pertemuan ini? Atau sebaliknya aku ingin lari dari pertemuan ini?

Aku tahu kamu pulang, tapi tetap tanpa sepatah katapun yang terucap. Jangan hiraukan, aku tak kan bertanya, setidaknya aku berusaha tak akan bertanya. Semua terasa sangat jauh berbeda dengan semua kenangan kita yang mampu kuingat.

Isyarat yang kutitipkan pada awan untuk mampu menjawab ketidakmengertianku. Silahkan kirimkan isyaratmu padaku awan, aku akan memahaminya. Tapi isyarat awan sama-sama tidak konsisten, setelah mengirimkan hujan, lalu menyibak awan-awan hitam berganti dengan awan-awan putih.

Disepanjang jalan, aku masih belum mengerti, bahwa kenyataannya aku tak bisa lari dari pertemuan ini, cerita ini mengaduk-aduk memoriku, masa lalu, masa sekarang dan masa yang pernah aku rindukan dulunya. Aku gugup, aku tak tahu bagaimana harus berekspresi jika nanti aku bertemu denganmu. Apa yang akan aku ucapkan padamu? “hai awan, selamat datang” atau “hai awan apa kabar? Pulang kok ngak bilang-bilang?” atau “hai awan, gimana pengalamannya disana?” atau “hai awan masih ingat, kafe tempat reunian ini dulu tempat kita belajar bersama?”. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri di tengah padatnya jalanan.

Sesampainya di tempat pertemuan itu, sekilas kulihat kamu duduk di antara teman-teman lainnya. Aku berjalan kearahmu mengikuti langkah Gerhana menuju tempatmu duduk. Banyak hal yang berubah darimu, sekarang kamu menggunakan kacamata. Semua ucapan-ucapan basa-basi untuk meredam kegugupan ku itu berlalu, menguap entah kemana. Hanya ada tatapan ketidakmengertianku, aku tersenyum dan berlalu dari hadapanmu.

Aku tahu ada hal yang akhirnya menjadi pembatas antara kita, aku mencoba untuk tetap biasa, memberikan segelas air kepadamu, tetap membahas banyak hal dengan teman-teman yang lainnya, mengulang banyak cerita indah di masa putih abu-abu. Tapi hanya ada diam denganmu.
“mungkin aku keliru dengan batas, batas adalah sebuah kesadaran ruang, “jarak antara” yang masing-masing kita memiliki maknanya sendiri.” Aku ingat kutipan Fahd Djibran.

Bagaimana jika ternyata aku tak mampu mengartikan batas ini dengan baik?. aku tak tahu kenapa semua membeku setelah begitu banyak perjuangan yang sama-sama kita lewati, harusnya pada waktu ini kita menjadi dua orang yang bercerita panjang lebar tentang mimpi-mimpi yang telah kita wujudkan satu-satu, mimpi yang dulu sama-sama kita tuliskan. Atau tak bisakah kita seperti dulu lagi, membicarakan banyak hal sederhana lainnya, aku tak bisa lagi mengartikan senyummu. Kau dekat tapi jauh bagiku, sepertinya aku hanya bertemu dengan Awan, tapi Aku tak mampu menemukan Awan sahabat lamaku. Kemana aku harus menemuimu Awan?

Aku hanya bisa menatap langit dan menguraikan awan-awan yang kulihat, yang kumaknai. Sudahlah…

Isyarat awan hanya menyisakan mendung, selanjutnya maknai saja dalam diam, entah itu berarti hujan aka turun deras, atau tiba-tiba matahari akan menyibak dengan cahayanya?
Sudahlah…

Jika hujan harus turun, bukankah itu juga rahasiaNya. Walaupun mendung itu menyakitkan, walaupun hujan itu menyisakan kesedihan tapi selalu ada harapan dibalik semuanya. Harapan itu.”pelangi”.

Entahlah apa yang ada dipikiranmu, apakah aku tak terlihat olehmu? Apakah aku hanya sebatas bayangan dipertemuan ini?

Gerhana menoleh kearahku, aku membaca gerakan bibirnya dari kejauhan “pulang”.
Aku membalas dengan anggukan.
Aku berpamitan dengan teman-teman, termasuk denganmu.
“Awan aku pulang ya”. Hanya ini satu-satunya kalimat yang membuktikan, aku bukan bayangan dipertemuan ini dan satu-satunya kalimat yang berhasil ku ucapkan padamu.
Aku melangkahkan kaki pulang
“senja tunggu.” Kau memanggilku, dan setengah berlari kearahku.
Aku tersenyum, “ada apa Awan?”
Kau memberikan selembar kertas padaku. Lalu memilih berlalu dengan senyummu.
“ayo senja” Gerhana menungguku.
diperjalanan aku membaca tulisan yang kau titipkan padaku

“jika gerhana bertanya tentang awan pada senja. Katakan saja “sudahlah, lupakanlah, biarlah tentang awan jadi rahasia langit bagi senja.”

Tiba-tiba tanpa aku sadari butiran-butiran bening itu mengalir dari sudut mataku.
“senja kenapa?” Tanya gerhana yang mengantarku pulang
“tadi Awan ada perlu apa sama senja?”
Hanya ada diam, maaf Awan, aku tak mampu mengucapkannya pada Gerhana.
barangkali cerita kita hanya akan ku simpan sendiri.


Bukittinggi, 00 : 18 Am. Kamis, 03 Oktober 2013


Sabtu, 02 Mei 2015

Perputaran Bianglala Kehidupan

Hey, aku suka bianglala. Kamu suka juga kah?
Tapi saat aku dan adikku merengek naik bianglala, Ayah tidak mengijinkan kami.
Kata Ayah, bianglala akan menyebabkan aku dan adikku demam, bianglalanya berputar naik keatas lalu kebawah, lalu keatas lagi. Nanti aku dan adikku bisa pusing dan mual dibuatnya, bisa jadi demam nantinya.
Mendengar nasehat Ayah, aku dan adikku tak jadi naik bianglala. Mungkin asyiknya naik bianglala tak mampu menandingi kekhawatiran Ayah pada kami.
Ssssttt.. ternyata aku tau, itu pesan titipan Ama pada Ayah agar tak memperbolehkan kami naik bianglala.

Hey, saat kuliah di kota Bukittinggi aku dan teman-temanku datang ke acara yang disana ada bianglalanya. Acara Pedati namanya. Senangnya, untuk pertama kalinya aku menaiki bianglala.
Hey, kudengar dikota itu ada bianglala dengan ukuran yang jauh lebih besar dari bianglala yang pernah aku naiki.
Kota itu, kota yang sangat ingin kukunjungi (atau bahkan barangkali untuk tinggal disana). Aku juga ingin menjadi bagian dari senyum mereka disana, dikampus itu, tapi aku tahu ada rencana yang lebih indah dariNya, agar aku bisa melipat jarak dan waktu untuk memberikan senyum lagi pada orang yang sangat kucintai disini, dihatinya yang selalu ada aku. Di doa-doa terbaiknya yang menjadi keajaiban untukku. Ama
Hey, dari bianglala aku memaknai hal lainnya. Barangkali kehidupan kita juga berputar seperti bianglala, bianglala kehidupan dan peredarannya. Kau tahu? Jika belum waktunya berhenti bianglala tak akan berhenti. Saat kau dibawah maka tetaplah mengingatNya. Barangkali kesedihan adalah caraNya mendekap dengan lembut, tetaplah bergerak, tetaplah berbaiksangka padaNya.
sulit? Ya.. tentu tidak mudah
Hey, kamu pasti bisa. Jika kamu berhenti dibawah maka kamu tidak akan punya kesempatan untuk melihat pemandangan diatas yang telah dipersiapkanNya untukmu.
yaaa.. teruslah bergerak, mengusahakan apa yang wajib untuk kamu berusaha dan berdoa, namun juga ada bagian-bagian yang mutlak itu keputusan Allah untukmu.
Sandarkan semua padaNya, diperputaran bianglala kehidupanmu Allah selalu menyertaimu. Percayakan padaNya.

Hey, kota itu dengan bianglalanya, semoga suatu hari nanti aku akan kesana menaiki bianglalanya. Mungkin ada bagian-bagian yang ternyata itu bukanlah yang terbaik untukku. Allah selalu menjawab doa kita dengan iya.
Iya, silahkan itu yang terbaik untukmu
Iya, nanti, tunggu waktu yang tepat
Iya, ini yang lebih baik untukmu
Barangkali kekota itu iya, nanti kesana dengan seseorang yang juga telah Allah tuliskan.
Percayalah, Yakinlah, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang, rencana terbaik untukmu jauh lebih baik melebihi apa yang mampu kamu rencanakan untuk dirimu sendiri. Jika belum sekarang, semoga disuatu hari nanti aku ke kota itu dan naik bianglalanya denganmu yang masih rahasia.
iya kamu, kamu yang telah Allah tuliskan menjadi takdirku jauh hari sebelum kita dilahirkan.

-      - Ditulis di Padang, 6 Februari 2015 
    Perputaran bianglala kehidupan