Sabtu, 16 Mei 2015

Cerpen : Isyarat Awan

Isyarat Awan
Sebuah cerpen dari Sri Asrianty

Aku berjalan menelusuri setiap sudut ruangan ini, susunan buku yang tertata rapi, membuatku tak pernah bisa menghapus rasa rindu itu, semua seperti sebuah film yang diputar ulang yang diputarkan langsung dari memoriku, aku bisa melihat detail nya.

Jalanan masih seperti biasa, penuh sesak dengan banyaknya kendaraan yang sibuk lalu lalang, aku menatap lewat kaca dari sudut kafe ini, alunan musik “here to stay” Sagisu Shiro mengalun pelan, matahari mulai bergeser, senja siap untuk menggantikannya, tapi banyak hal yang tak pernah tergantikan tentangmu. Detik ini aku menelusuri lagi jejak-jejak kerinduan yang mulai terkubur waktu, itu harapanku, mencoba melupakan dan membunuh kerinduan itu dengan melewati perputaran waktu dengan banyak hal, tapi entah kenapa aku selalu kembali lagi ke kafe ini, ada puzzle kehidupanku yang harus kulengkapi dengan berada di tempat ini.

Di sudut kafe ini delapan tahun yang lalu, kita selalu punya agenda untuk mempersiapkan bekal menuju ujian kelulusan masa putih abu-abu. Di kafe ini kita menuliskan janji untuk saling menyemangati, membahas materi-materi yang harus kita kuasai. Kamu dengan santainya duduk di mejaku tanpa rasa bersalah karena kamu telah membuatku menunggu, kamu terlambat 30 menit, aku menunggumu seorang diri. Untuk mengisi waktu menunggu, aku membaca sebuah novel, beberapa buku yang tersusun rapi di antara cangkir kopiku. cerita-cerita sederhana itu seperti sebuah ritual rutin kita,
“pura-pura ngambek, padahal kamu menikmati banget kan nunggu aku sambil baca novel?” katamu.

Kamu selalu begitu, selalu tak pernah merasa bersalah ketika kamu membuatku menunggu. kamu yang selalu menertawakan aku dengan buku-buku fiksi yang menemani kesendirianku, juga terkadang ungkapan-ungkapan logikamu yang selalu membuat kita berdebat.
“udah de, baca yang puitis-puitisnya, kenapa harus bermajas-majas jika bisa berkata-kata dengan jelas” lanjutmu.

Kenapa kamu tak pernah mampu untuk melihat dari sudut pandang bahwa tak selamanya logika itu mampu melawan hati hingga huruf-huruf yang berhamburan disulap ajaib membuat kata-kata yang memukau.

Aku tak pernah lupa dengan pandangan sinismu tentangku,
“kamu terlalu mendramatisir hidup” ujarmu padaku.
“bukan, aku hanya menuliskan dengan luapan emosi” bantahku.
“kamu terlalu muluk-muluk dalam memahami banyak hal, simple aja.” Lanjutmu

Lebih baik aku membalas dengan tersenyum, kamu seakan tiba-tiba menjelma menjadi sosok aneh yang tak kukenali. Kamu sahabat yang kukenal dengan baik tapi sesekali aku sungguh membencimu, Tepatnya membenci pandangan-pandangan dinginmu tentangku, tapi ada seuntai rasa yang tak mampu kujelaskan, bahkan ketika aku bertanya pada logikaku, kenapa hati dan logikaku tak bisa sejalan? Jauh beda denganmu yang tak sedikitpun terbebani rasa yang membuatku sulit untuk bernafas, ingin meledak, tapi tersekat diantara tenggorokanku yang masih saja tak mampu melanjutkan ke lidah untuk menyampaikan, “apa yang terjadi dengan hatiku?”. Sudahlah, semua mungkin hanya luapan emosi ku saja yang belum mampu untuk ku pahami.
***
Keajaiban seperti apa lagi ini? Di tengah sibuknya memulai tahun ajaran baru di sekolah, pembagian kelas baru, seragam putih abu-abu dengan warna cemerlang. Saat aku sibuk mempersiapkan proses belajar mengajar dikelas yang baru, merapikan kursi dan meja, tiba-tiba seseorang duduk disampingku dan tersenyum, aku menoleh dan terdiam. Kamu tiba-tiba duduk disebelahku dan berkata..
“okeee, sekarang kita sekelas, siap berjuang untuk ke universitas impian” jawabmu.

Lagi-lagi aku hanya tersenyum padamu. Terimakasih untuk setiap semangat yang tak bosan kamu bagi denganku. Kita melewati hari-hari sederhana dengan semangat mimpi-mimpi itu.

Perputaran waktu terlalu cepat, aku masih ingat ketika detik-detik terakhir perpisahan kita, Semua tiba-tiba harus berakhir begitu saja, ada banyak hal yang tak mampu untuk kujelaskan, setelah kamu memutuskan untuk berlalu dan hilang tanpa jejak, seperti aliran air yang terhenti diterpa cahaya matahari, menguap tak tersisa. Apa yang salah denganku? Hingga kamu tak mengucapkan sepatah katapun diperpisahan itu?

Aku selalu tak mengerti denganmu, perlahan kawanan burung telah berarak pulang, aku langkahkan kaki, berlalu dari kafe ini. Awan hitam mulai menggiring rintik-rintik hujan disenja ini.
***
Denting jam tepat pukul 7 pagi membuatku harus bergegas lagi menyegerakan rutinitas hari ini. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah undangan yang berada disamping vas bunga mawar dimeja kerjaku.

“reunian SMA” ku baca lirih. Lalu memasukkannya ke dalam tas bersama file-file yang akan ku presentasikan hari ini.
***
Embun pagi tersapu gelombang hujan. setelah isyarat awan, hujan turun dengan derasnya, aku mampu membaca isyarat itu. Aku lebih memilih untuk tetap diam, tak menggubris isyarat awan. Semua cerita ini akan berjalan seperti apa adanya. Aku tak ingin lagi menyibukkan diri untuk memikirkanmu. Walaupun hatiku selalu bertanya “Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Bagaimana jika kita bertemu lagi, adakah penjelasan darimu?”

Hujan turun lebih deras lagi. Sudahlah, aku ikhlas dengan semua cerita ini, tak ada rasa yang menggebu-gebu untuk pertemuan itu. Bahkan pernah terpikir olehku, “bagaimana caranya agar aku bisa sejenak hilang dari peredaran?”.

Aku akan mengikhlaskan setiap kepingan kenangan untuk beberapa waktu bersamamu. Bukankah aku hanya sekilas berada disana? Seakan cerita ini harus aku jalani. Ketika seorang laki-laki yang mengenakan jaket bolanya, mengetuk pintu rumahku, Gerhana.
“ayo senja kita datang reunian” Pintanya.

Aku tak bisa mengelak lagi, aku harus datang. Hujan yang tadi turun deras, berhenti perlahan-lahan, matahari mulai menyibak awan-awan hitam, awan-awan hitam itu pun mengalah, mungkin mereka memilih pulang saja, entahlah.

Bukankah sesudah hujan akan ada pelangi? Ya pelangi. Aku menatap langit, tapi tak ku temukan pelangi, padahal leher ku mulai pegal menengadah kelangit. Disana hanya ada awan-awan yang berbeda warna dari awan-awan sebelumnya. Ya awan putih. Pertemuan itu semakin dekat.

Aku tak mengerti, apakah aku merindukan dan berdoa untuk pertemuan ini? Atau sebaliknya aku ingin lari dari pertemuan ini?

Aku tahu kamu pulang, tapi tetap tanpa sepatah katapun yang terucap. Jangan hiraukan, aku tak kan bertanya, setidaknya aku berusaha tak akan bertanya. Semua terasa sangat jauh berbeda dengan semua kenangan kita yang mampu kuingat.

Isyarat yang kutitipkan pada awan untuk mampu menjawab ketidakmengertianku. Silahkan kirimkan isyaratmu padaku awan, aku akan memahaminya. Tapi isyarat awan sama-sama tidak konsisten, setelah mengirimkan hujan, lalu menyibak awan-awan hitam berganti dengan awan-awan putih.

Disepanjang jalan, aku masih belum mengerti, bahwa kenyataannya aku tak bisa lari dari pertemuan ini, cerita ini mengaduk-aduk memoriku, masa lalu, masa sekarang dan masa yang pernah aku rindukan dulunya. Aku gugup, aku tak tahu bagaimana harus berekspresi jika nanti aku bertemu denganmu. Apa yang akan aku ucapkan padamu? “hai awan, selamat datang” atau “hai awan apa kabar? Pulang kok ngak bilang-bilang?” atau “hai awan, gimana pengalamannya disana?” atau “hai awan masih ingat, kafe tempat reunian ini dulu tempat kita belajar bersama?”. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri di tengah padatnya jalanan.

Sesampainya di tempat pertemuan itu, sekilas kulihat kamu duduk di antara teman-teman lainnya. Aku berjalan kearahmu mengikuti langkah Gerhana menuju tempatmu duduk. Banyak hal yang berubah darimu, sekarang kamu menggunakan kacamata. Semua ucapan-ucapan basa-basi untuk meredam kegugupan ku itu berlalu, menguap entah kemana. Hanya ada tatapan ketidakmengertianku, aku tersenyum dan berlalu dari hadapanmu.

Aku tahu ada hal yang akhirnya menjadi pembatas antara kita, aku mencoba untuk tetap biasa, memberikan segelas air kepadamu, tetap membahas banyak hal dengan teman-teman yang lainnya, mengulang banyak cerita indah di masa putih abu-abu. Tapi hanya ada diam denganmu.
“mungkin aku keliru dengan batas, batas adalah sebuah kesadaran ruang, “jarak antara” yang masing-masing kita memiliki maknanya sendiri.” Aku ingat kutipan Fahd Djibran.

Bagaimana jika ternyata aku tak mampu mengartikan batas ini dengan baik?. aku tak tahu kenapa semua membeku setelah begitu banyak perjuangan yang sama-sama kita lewati, harusnya pada waktu ini kita menjadi dua orang yang bercerita panjang lebar tentang mimpi-mimpi yang telah kita wujudkan satu-satu, mimpi yang dulu sama-sama kita tuliskan. Atau tak bisakah kita seperti dulu lagi, membicarakan banyak hal sederhana lainnya, aku tak bisa lagi mengartikan senyummu. Kau dekat tapi jauh bagiku, sepertinya aku hanya bertemu dengan Awan, tapi Aku tak mampu menemukan Awan sahabat lamaku. Kemana aku harus menemuimu Awan?

Aku hanya bisa menatap langit dan menguraikan awan-awan yang kulihat, yang kumaknai. Sudahlah…

Isyarat awan hanya menyisakan mendung, selanjutnya maknai saja dalam diam, entah itu berarti hujan aka turun deras, atau tiba-tiba matahari akan menyibak dengan cahayanya?
Sudahlah…

Jika hujan harus turun, bukankah itu juga rahasiaNya. Walaupun mendung itu menyakitkan, walaupun hujan itu menyisakan kesedihan tapi selalu ada harapan dibalik semuanya. Harapan itu.”pelangi”.

Entahlah apa yang ada dipikiranmu, apakah aku tak terlihat olehmu? Apakah aku hanya sebatas bayangan dipertemuan ini?

Gerhana menoleh kearahku, aku membaca gerakan bibirnya dari kejauhan “pulang”.
Aku membalas dengan anggukan.
Aku berpamitan dengan teman-teman, termasuk denganmu.
“Awan aku pulang ya”. Hanya ini satu-satunya kalimat yang membuktikan, aku bukan bayangan dipertemuan ini dan satu-satunya kalimat yang berhasil ku ucapkan padamu.
Aku melangkahkan kaki pulang
“senja tunggu.” Kau memanggilku, dan setengah berlari kearahku.
Aku tersenyum, “ada apa Awan?”
Kau memberikan selembar kertas padaku. Lalu memilih berlalu dengan senyummu.
“ayo senja” Gerhana menungguku.
diperjalanan aku membaca tulisan yang kau titipkan padaku

“jika gerhana bertanya tentang awan pada senja. Katakan saja “sudahlah, lupakanlah, biarlah tentang awan jadi rahasia langit bagi senja.”

Tiba-tiba tanpa aku sadari butiran-butiran bening itu mengalir dari sudut mataku.
“senja kenapa?” Tanya gerhana yang mengantarku pulang
“tadi Awan ada perlu apa sama senja?”
Hanya ada diam, maaf Awan, aku tak mampu mengucapkannya pada Gerhana.
barangkali cerita kita hanya akan ku simpan sendiri.


Bukittinggi, 00 : 18 Am. Kamis, 03 Oktober 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar