Isyarat Awan
Sebuah cerpen dari Sri Asrianty
Aku berjalan
menelusuri setiap sudut ruangan ini, susunan buku yang tertata rapi, membuatku
tak pernah bisa menghapus rasa rindu itu, semua seperti sebuah film yang
diputar ulang yang diputarkan langsung dari memoriku, aku bisa melihat detail
nya.
Jalanan masih
seperti biasa, penuh sesak dengan banyaknya kendaraan yang sibuk lalu lalang, aku
menatap lewat kaca dari sudut kafe ini, alunan musik “here to stay” Sagisu Shiro mengalun pelan, matahari mulai bergeser,
senja siap untuk menggantikannya, tapi banyak hal yang tak pernah tergantikan
tentangmu. Detik ini aku menelusuri lagi jejak-jejak kerinduan yang mulai
terkubur waktu, itu harapanku, mencoba melupakan dan membunuh kerinduan itu
dengan melewati perputaran waktu dengan banyak hal, tapi entah kenapa aku
selalu kembali lagi ke kafe ini, ada puzzle
kehidupanku yang harus kulengkapi dengan berada di tempat ini.
Di sudut kafe
ini delapan tahun yang lalu, kita selalu punya agenda untuk mempersiapkan bekal
menuju ujian kelulusan masa putih abu-abu. Di kafe ini kita menuliskan janji
untuk saling menyemangati, membahas materi-materi yang harus kita kuasai. Kamu dengan
santainya duduk di mejaku tanpa rasa bersalah karena kamu telah membuatku
menunggu, kamu terlambat 30 menit, aku menunggumu seorang diri. Untuk mengisi
waktu menunggu, aku membaca sebuah novel, beberapa buku yang tersusun rapi di antara
cangkir kopiku. cerita-cerita sederhana itu seperti sebuah ritual rutin kita,
“pura-pura ngambek, padahal
kamu menikmati banget kan nunggu aku sambil baca novel?” katamu.
Kamu selalu
begitu, selalu tak pernah merasa bersalah ketika kamu membuatku menunggu. kamu yang
selalu menertawakan aku dengan buku-buku fiksi yang menemani kesendirianku, juga
terkadang ungkapan-ungkapan logikamu yang selalu membuat kita berdebat.
“udah de, baca yang
puitis-puitisnya, kenapa harus bermajas-majas jika bisa berkata-kata dengan
jelas” lanjutmu.
Kenapa kamu
tak pernah mampu untuk melihat dari sudut pandang bahwa tak selamanya logika
itu mampu melawan hati hingga huruf-huruf yang berhamburan disulap ajaib
membuat kata-kata yang memukau.
Aku tak pernah lupa dengan
pandangan sinismu tentangku,
“kamu terlalu mendramatisir
hidup” ujarmu padaku.
“bukan, aku hanya menuliskan
dengan luapan emosi” bantahku.
“kamu terlalu muluk-muluk
dalam memahami banyak hal, simple aja.” Lanjutmu
Lebih baik aku
membalas dengan tersenyum, kamu seakan tiba-tiba menjelma menjadi sosok aneh
yang tak kukenali. Kamu sahabat yang kukenal dengan baik tapi sesekali aku
sungguh membencimu, Tepatnya membenci pandangan-pandangan dinginmu tentangku,
tapi ada seuntai rasa yang tak mampu kujelaskan, bahkan ketika aku bertanya
pada logikaku, kenapa hati dan logikaku tak bisa sejalan? Jauh beda denganmu
yang tak sedikitpun terbebani rasa yang membuatku sulit untuk bernafas, ingin
meledak, tapi tersekat diantara tenggorokanku yang masih saja tak mampu
melanjutkan ke lidah untuk menyampaikan, “apa yang terjadi dengan hatiku?”. Sudahlah,
semua mungkin hanya luapan emosi ku saja yang belum mampu untuk ku pahami.
***
Keajaiban
seperti apa lagi ini? Di tengah sibuknya memulai tahun ajaran baru di sekolah,
pembagian kelas baru, seragam putih abu-abu dengan warna cemerlang. Saat aku
sibuk mempersiapkan proses belajar mengajar dikelas yang baru, merapikan kursi
dan meja, tiba-tiba seseorang duduk disampingku dan tersenyum, aku menoleh dan
terdiam. Kamu tiba-tiba duduk disebelahku dan berkata..
“okeee, sekarang kita
sekelas, siap berjuang untuk ke universitas impian” jawabmu.
Lagi-lagi aku
hanya tersenyum padamu. Terimakasih untuk setiap semangat yang tak bosan kamu
bagi denganku. Kita melewati hari-hari sederhana dengan semangat mimpi-mimpi
itu.
Perputaran
waktu terlalu cepat, aku masih ingat ketika detik-detik terakhir perpisahan
kita, Semua tiba-tiba harus berakhir begitu saja, ada banyak hal yang tak mampu
untuk kujelaskan, setelah kamu memutuskan untuk berlalu dan hilang tanpa jejak,
seperti aliran air yang terhenti diterpa cahaya matahari, menguap tak tersisa.
Apa yang salah denganku? Hingga kamu tak mengucapkan sepatah katapun
diperpisahan itu?
Aku selalu tak
mengerti denganmu, perlahan kawanan burung telah berarak pulang, aku langkahkan
kaki, berlalu dari kafe ini. Awan hitam mulai menggiring rintik-rintik hujan
disenja ini.
***
Denting jam
tepat pukul 7 pagi membuatku harus bergegas lagi menyegerakan rutinitas hari
ini. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah undangan yang berada disamping vas
bunga mawar dimeja kerjaku.
“reunian SMA” ku baca lirih.
Lalu memasukkannya ke dalam tas bersama file-file yang akan ku presentasikan
hari ini.
***
Embun pagi tersapu
gelombang hujan. setelah isyarat awan, hujan turun dengan derasnya, aku mampu
membaca isyarat itu. Aku lebih memilih untuk tetap diam, tak menggubris isyarat
awan. Semua cerita ini akan berjalan seperti apa adanya. Aku tak ingin lagi
menyibukkan diri untuk memikirkanmu. Walaupun hatiku selalu bertanya “Apa yang
sebenarnya terjadi padamu? Bagaimana jika kita bertemu lagi, adakah penjelasan
darimu?”
Hujan turun
lebih deras lagi. Sudahlah, aku ikhlas dengan semua cerita ini, tak ada rasa
yang menggebu-gebu untuk pertemuan itu. Bahkan pernah terpikir olehku,
“bagaimana caranya agar aku bisa sejenak hilang dari peredaran?”.
Aku akan
mengikhlaskan setiap kepingan kenangan untuk beberapa waktu bersamamu. Bukankah
aku hanya sekilas berada disana? Seakan cerita ini harus aku jalani. Ketika seorang
laki-laki yang mengenakan jaket bolanya, mengetuk pintu rumahku, Gerhana.
“ayo senja kita datang
reunian” Pintanya.
Aku tak bisa
mengelak lagi, aku harus datang. Hujan yang tadi turun deras, berhenti
perlahan-lahan, matahari mulai menyibak awan-awan hitam, awan-awan hitam itu
pun mengalah, mungkin mereka memilih pulang saja, entahlah.
Bukankah
sesudah hujan akan ada pelangi? Ya pelangi. Aku menatap langit, tapi tak ku
temukan pelangi, padahal leher ku mulai pegal menengadah kelangit. Disana hanya
ada awan-awan yang berbeda warna dari awan-awan sebelumnya. Ya awan putih.
Pertemuan itu semakin dekat.
Aku tak
mengerti, apakah aku merindukan dan berdoa untuk pertemuan ini? Atau sebaliknya
aku ingin lari dari pertemuan ini?
Aku tahu kamu
pulang, tapi tetap tanpa sepatah katapun yang terucap. Jangan hiraukan, aku tak
kan bertanya, setidaknya aku berusaha tak akan bertanya. Semua terasa sangat
jauh berbeda dengan semua kenangan kita yang mampu kuingat.
Isyarat yang
kutitipkan pada awan untuk mampu menjawab ketidakmengertianku. Silahkan kirimkan
isyaratmu padaku awan, aku akan memahaminya. Tapi isyarat awan sama-sama tidak
konsisten, setelah mengirimkan hujan, lalu menyibak awan-awan hitam berganti
dengan awan-awan putih.
Disepanjang
jalan, aku masih belum mengerti, bahwa kenyataannya aku tak bisa lari dari
pertemuan ini, cerita ini mengaduk-aduk memoriku, masa lalu, masa sekarang dan
masa yang pernah aku rindukan dulunya. Aku gugup, aku tak tahu bagaimana harus
berekspresi jika nanti aku bertemu denganmu. Apa yang akan aku ucapkan padamu?
“hai awan, selamat datang” atau “hai awan apa kabar? Pulang kok ngak
bilang-bilang?” atau “hai awan, gimana pengalamannya disana?” atau “hai awan
masih ingat, kafe tempat reunian ini dulu tempat kita belajar bersama?”. Aku
sibuk dengan pikiranku sendiri di tengah padatnya jalanan.
Sesampainya di
tempat pertemuan itu, sekilas kulihat kamu duduk di antara teman-teman lainnya.
Aku berjalan kearahmu mengikuti langkah Gerhana menuju tempatmu duduk. Banyak
hal yang berubah darimu, sekarang kamu menggunakan kacamata. Semua
ucapan-ucapan basa-basi untuk meredam kegugupan ku itu berlalu, menguap entah
kemana. Hanya ada tatapan ketidakmengertianku, aku tersenyum dan berlalu dari
hadapanmu.
Aku tahu ada hal
yang akhirnya menjadi pembatas antara kita, aku mencoba untuk tetap biasa,
memberikan segelas air kepadamu, tetap membahas banyak hal dengan teman-teman
yang lainnya, mengulang banyak cerita indah di masa putih abu-abu. Tapi hanya
ada diam denganmu.
“mungkin aku keliru dengan
batas, batas adalah sebuah kesadaran ruang, “jarak antara” yang masing-masing
kita memiliki maknanya sendiri.” Aku ingat kutipan Fahd Djibran.
Bagaimana jika
ternyata aku tak mampu mengartikan batas ini dengan baik?. aku tak tahu kenapa
semua membeku setelah begitu banyak perjuangan yang sama-sama kita lewati,
harusnya pada waktu ini kita menjadi dua orang yang bercerita panjang lebar
tentang mimpi-mimpi yang telah kita wujudkan satu-satu, mimpi yang dulu
sama-sama kita tuliskan. Atau tak bisakah kita seperti dulu lagi, membicarakan
banyak hal sederhana lainnya, aku tak bisa lagi mengartikan senyummu. Kau dekat
tapi jauh bagiku, sepertinya aku hanya bertemu dengan Awan, tapi Aku tak mampu menemukan
Awan sahabat lamaku. Kemana aku harus menemuimu Awan?
Aku hanya bisa
menatap langit dan menguraikan awan-awan yang kulihat, yang kumaknai. Sudahlah…
Isyarat awan
hanya menyisakan mendung, selanjutnya maknai saja dalam diam, entah itu berarti
hujan aka turun deras, atau tiba-tiba matahari akan menyibak dengan cahayanya?
Sudahlah…
Jika hujan
harus turun, bukankah itu juga rahasiaNya. Walaupun mendung itu menyakitkan,
walaupun hujan itu menyisakan kesedihan tapi selalu ada harapan dibalik
semuanya. Harapan itu.”pelangi”.
Entahlah apa
yang ada dipikiranmu, apakah aku tak terlihat olehmu? Apakah aku hanya sebatas
bayangan dipertemuan ini?
Gerhana menoleh kearahku,
aku membaca gerakan bibirnya dari kejauhan “pulang”.
Aku membalas dengan
anggukan.
Aku berpamitan dengan
teman-teman, termasuk denganmu.
“Awan aku pulang ya”. Hanya
ini satu-satunya kalimat yang membuktikan, aku bukan bayangan dipertemuan ini dan
satu-satunya kalimat yang berhasil ku ucapkan padamu.
Aku melangkahkan kaki pulang
“senja tunggu.” Kau
memanggilku, dan setengah berlari kearahku.
Aku tersenyum, “ada apa
Awan?”
Kau memberikan selembar
kertas padaku. Lalu memilih berlalu dengan senyummu.
“ayo senja” Gerhana menungguku.
diperjalanan aku membaca
tulisan yang kau titipkan padaku
“jika gerhana bertanya tentang awan pada senja. Katakan saja
“sudahlah, lupakanlah, biarlah tentang awan jadi rahasia langit bagi senja.”
Tiba-tiba tanpa aku sadari
butiran-butiran bening itu mengalir dari sudut mataku.
“senja kenapa?” Tanya
gerhana yang mengantarku pulang
“tadi Awan ada perlu apa
sama senja?”
Hanya ada diam, maaf Awan,
aku tak mampu mengucapkannya pada Gerhana.
barangkali cerita kita hanya akan ku simpan sendiri.
Bukittinggi, 00 : 18 Am.
Kamis, 03 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar