Kau hanya menatap hijaunya daun
disekelilingmu, sesekali angin menerpa wajahmu…
Ada salam yang kau sampaikan pada biru
langit,,
“hmm,, andai aku bisa menitipkan
sesederhana senyum diwajahnya”
“Tapi tetap saja aku tak bisa
sesempurna mentari dimatanya, aku tak bisa sesegar air yang mengaliri disetiap
sela-sela amarahnya.”
“Apakah memang begitu? Saat jauh kaki
melangkah maka ada rindu disana?
kenapa tak robohkan tingginya dinding-dinding kebekuan yang harusnya semua itu bisa kita syukuri…”
kenapa tak robohkan tingginya dinding-dinding kebekuan yang harusnya semua itu bisa kita syukuri…”
Kau melangkah perlahan, menatap sudut
jingga dilangit, menengadahkan tangan menampung bulir-bulir gerimis yang turun
perlahan.
“Engkau memang tak memberitahuku ungkapan
seperti untaian rintik hujan yang jatuh, karena sederhana yang harus berusaha
kumaknai, yaa, hanya semua hal-hal sederhana yang terbaik yang selalu
dilakukannya dengan setulus hati”
“apakah aku memang pantas untuk
mempertanyakan pada senja, aku memang belum bisa menjadi yang terbaik untuknya?”
“hanya hatiku yang selalu mengeja doa,
aku ingin menjadi yang terbaik untuknya, Ya Allah, bahagiakan mereka sepertiku.”
Padang, 14 Juli 2013
sederhana memaknai
sederhana memaknai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar